Selasa, 01 Januari 2008

Pergeseran Kepentingan di dalam Dialog Agama

Pergeseran Kepentingan di dalam Dialog Agama

Abdullah Busthany Isma’ili

Dosen Universitas al-Amin Sorong, Ketua Umum Madrasah Karbala’

SENIOR saya, Haidar Bagir, pernah memberikan pengakuan kepada Adrian Husaini, “Beliau selalu dapat memberikan alasan-alasan dengan jelas, gamblang, dan masuk akal mengapa beliau menolak sebuah pemikiran keagamaan.” Ini terjadi beberapa tahun lalu sesaat setelah sebuah seminar dilakukan oleh Fakultas Pascasarjana UIN Ciputat.

Seminar itu bermaksud mempertemukan antara berbagai ideologi Islam. Agaknya penyelenggara berpikir sederhana bahwa ideologi dibedakan atas fundamental dan liberal. Haidar dipandang mewakili liberal, tapi beliau menepis, “Saya fundamentalis.” Adrian dipandang mewakili fundamental, padahal saya—dan Haidar tentunya—menilainya justru liberal.

Kristen adalah sebuah agama yang diakui oleh al-Qur’an. Tetapi Adrian, di dalam tulisan-tulisannya, berhasil membongkar berbagai hal di dalam Kristen. Sepanjang yang saya tahu dari al-Qur’an dan sejarah Rasulullah saw, Adrian tidak punya sandaran kuat atas tindakannya itu. Jadi, tindakannya itu dapat terjadi hanya karena beliau menjadi liberal. Maksud saya, sekiranya metodelogi yang sama beliau gunakan untuk membedah Islamnya sendiri, niscaya beliau akan menemukan hal yang tidak jauh berbeda.

Menurut hemat saya, Adrian justru perlu membedah pemikiran Hartono Jaiz yang hadir untuk mewakili Islam fundamental. Hartono mendeskripsikan dirinya sebagai Islam yang mengikuti sahabat, tabi’in, dan tabi’it tabi’in. Maka sangat mudah bagi Adrian untuk bertanya, “Bagaimana nasib Fathimah putri Rasulullah saw?” Bagaimana dengan suami dan anak-cucunya? Saya optimis dengan Adrian bahwa, apabila beliau konsisten dengan metodeloginya, maka, pada gilirannya, beliau akan sampai kepada hal yang serupa untuk Islamnya sendiri. Jadi, perkara liberaliitas Adrian hanyalah bahwa perjalanannya belum usai.

Adrian memiliki banyak persamaan dengan Fauzan al-Anshari. Saya menyayangi Fauzan karena beliau juga melawan pemikiran dengan pemikiran. Fauzan tahu bahwa saya menganut Islam syi’ah, tetapi kami baik-baik saja. Di FPI, saya dekat dengan Ahmad Sobri Lubis. Beliau tahu bahwa saya syi’ah, tetapi kami saling sayang. Saya dekat dengan cukup banyak “aktivis garis keras” Jakarta yang tahu bahwa saya syi’ah. Sekiranya mereka menilai saya buruk, maka, saya yakin, itu lantaran pribadi saya yang buruk, sama sekali bukan karena syi’ah.

***

TIDAK lah salah memilah-milah Islam menjadi fundamental dan liberal. Dan masih dapat dipilah-pilah lagi. Senior saya lainnya, Eggi Sudjana yang praktis, memunculkan Islam fungsional. Saya yang teoritis cenderung memilah ke dalam feminim dan maskulin.

Islam maskulin adalah Islam yang cerdas, jujur, dan berani, serta tidak ingin digandeng oleh satu kepentingan pun. Menurut hemat saya, orang-orang seperti Adrian, Fauzan, bahkan Ulil Abshar-Abdalla dari Islam liberal, memiliki kesamaan sebagai maskulin. Dalam hal ini, sesungguhnya, Ulil berbeda dari Nurcholis Madjid (alm.) yang feminim. Islam feminim adalah Islam yang menyembunyikan kebengisan, dan sesekali menggunakan tangan kekuasaan untuk mewujudkan kepentingannya, sadar atau tidak. Kebengisan Orde Baru mendapatkan sandaran pada pemikiran feminim Nurcholis.

Hartono Jaiz, meskipun menentang Nurcholis, adalah juga figur Islam feminim. Sekiranya negara kita ini dikuasai oleh faham Hartono, niscaya Adrian dan Fauzan pun pada akhirnya akan menghuni terali besi bersama-sama dengan Ulil dan saya. Celakanya, zaman di negara kita mulai bergeser ke faham ini.

Ada dua indikasi. Pertama, setidaknya bagi “orang Jakarta yang tinggal di daerah”, mengamati melalui MetroTV dan mencermati editorial Media Indonesia. Kedua media ini dipimpin oleh Surya Paloh, seorang politisi yang melakukan berbagai manuver. Dengan medianya, langkah Surya dan pergeserannya mudah dibaca. Al-Chaidar, mantan aktivis NII, berteori, “Setiap kali menjelang Pemilu, banyak aliran sesat bermunculan.” Teori ini dapat dikaitkan dengan pergeseran Surya dan medianya.

Kedua, dalam sebuah dialog di MetroTV (10/12/2007), Munarman muncul sebagai Tim Advokasi Forum Umat Islam. Patut diakui bahwa Munarman sukses di dalam pembelaan HAM di luar perkara agama. Maka, agaknya, beliau ingin membawa metodeloginya ke dalam perkara agama. Argumentasinya sungguh hebat. Hanya saja, di dalam sudut pandang maskulin, metodeloginya mengingatkan saya kepada metode wacana-dekonstruksi Ulil yang liberal.

Di satu sisi, banyak orang mengagumi metode wacana-dekonstruksi. Di sisi lain, orang yang tidak menyukainya sulit membantahnya. Haidar adalah senior saya di ITB sehingga segera mengerti maksud saya bahwa metode ini adalah metode numerik. Di dalam sains dan teknologi, metode numerik adalah metode “putus asa”. Ibarat makanan, maka metode itu hanya untuk mencapai kekenyangan, bukan untuk memperoleh pahala. Ahli metode ini adalah Iblis yang melakukan sesuatu tanpa perduli dengan ma’rifat.

Apa yang dilakukan Munarman adalah menarik suatu kesetangkupan dari perkara di luar agama ke dalam perkara agama. Simetri menurut kajian fisika teoritik dan matematika. Namun, alih-alih simetri, beliau baru sampai ke tingkat kiyas atau analog. Kiyas adalah kedunguan, dan, lagi-lagi, ahli kiyas adalah Iblis.

Bila Munarman mengkaji simetri sejarah, niscaya beliau akan melihat bahwa pergeseran yang diindikasikan oleh keterlibatannya dengan metodeloginya adalah ibarat menggeser zaman menuju rezim Umayah dan rezim Abbasiyah. Beliau akan menemukan bahwa para penguasa itulah yang melakukan pembunuhan besar-besaran terhadap kaum Kristen dan Yahudi. Namun, sesungguhnya, kaum Islam syi’ah lah yang lebih banyak ditimpa bencana. Tetapi saya khawatir Munarman akan gagal. Sebab, alih-alih menemukan simetri, beliau dapat terjebak dalam simetrisasi.

***

ULIL pernah bertanya mengenai stockholders Islam. Memang, menghadapi orang-orang yang gagal menemukan simetri, atau orang-orang yang cenderung terjebak di dalam simetrisasi, pertanyaan ini patut dikedepankan. Di akhir dekade 90-an, saya pulang kampung, dan sekonyong-konyong saya diserang sebagai beraliran Islam sesat. Menyadari itu, saya lakukan musyahadah bahwa saya berasal dari leluhur yang justru meng-Islamkan orang-orang di kampung saya.

Saudara-saudara ayah saya pada umumnya hanya bersekolah hingga ke Ambon, dan ayah saya menilai bahwa, sebatas itu, mereka tidak akan sanggup meneruskan amanah leluhur untuk mempertahankan Islam. Jawa merupakan tempat yang harus saya datangi. Ayah dan kakek saya menitipkan banyak amanah sebelum melepaskan saya pergi. Ayah terus memantau saya, menasehati, dan seterusnya. Sebandel-bandelnya saya, saya masih tergolong patuh kepada orang tua dan leluhur. Itulah sehingga, ketika isu kesesatan saya menyeruak, ayah dan keluarga saya tampil membela.

Ayah saya berkata lantang, “Kalian dibayar untuk berda’wah dan berkhotbah, kami dan leluhur kami tidak. Kalian tidak diperangi oleh Portugis dan Belanda, leluhur kami dibunuh…” Sampai-sampai ayah saya berkata, “Kalian baru belajar Islam setelah datang kepentingan, kami belajar Islam sejak di alam sulbi.”

Menurut hemat saya, satu saat akan saya gunakan kata-kata ayah saya ini untuk menghadang pergeseran yang cenderung terjadi di dalam dialog agama dewasa ini. Tetapi tentu saja saya lebih berharap kepada orang-orang seperti Munarman untuk mempelajari Islam secara tuntas (mastery learning) guna menemukan general symmetry.***

Tidak ada komentar: