Selasa, 01 Januari 2008

Teori Fisika Wilayah dari Papua

General Symmetry versus General Relativity

Teori Fisika Wilayah dari Papua

Abdullah Busthany Isma’ili

Ketua Umum Madrasah Karbala’ Sorong


SEMUANYA serba kebetulan. Saya dibesarkan di lingkungan yang punya beberapa teori mengenai Hajar al-Sahrah. Sayangnya, sewaktu saya kuliah, saya lupa menanyakan fenomena batu bergantung ini. Pembimbing saya adalah Hans Wospakrik (w. 2005), seorang ahli fisika teori asal Papua, dan dengannya pernah saya berdiskusi. Tapi Hans tidak tahu.

Saya meneliti fenomena particle-like yang disebut soliton. Di sanalah saya dan Hans menemukan “kebohongan” Miura, orang pertama yang memperkenalkan soliton, dia seorang Yahudi. Ketika saya lihat gambar ini di rumah mertua saya di Papua, negeri asal Hans, saya teringat akan Yahudi dan “kebohongan”.

Satu ketika banjir datang tiba-tiba. Ketika sedang membersihkan rumah, saya menemukan buku Desain Yahudi atau Kehendak Tuhan karya Max I. Dimont. Saya baca kalimat, ”Mengapa orang-orang Yahudi, yang baru saja keluar dari ghetto, dengan Talmud di tangan, tiba-tiba menjadi matematikawan yang terkemuka, merupakan misteri, penjelasan Freud bagi kejeniusan sendiri adalah tidak valid.” Maka saya teringat instuisi Hans: setiap misteri senantiasa ada simetri. Tetapi ada juga simetrisasi. (Dimont menyebut teorisasi.) Apakah Yahudi melakukan simetrisasi terhadap batu itu?

Adik saya mengirim buku 500 Ayat untuk Ali bin Abi Thalib as karya Hafidz Rajab al-Busri. Ada sabda Rasulullah saw, ”Bagaimana engkau (Ali) tidak jatuh mendahuluinya, sedangkan engkau lebih berat dari Tsabit?” Hadits ini mendukung doktrin Aristoteles untuk benda jatuh bebas yang ditentang oleh Newton dan Galilei.

Simetrisasi hukum Newton terdapat pada penyamaan massa inersia dan massa gravitasi, dua hal yang memiliki ”teologi” berbeda. Massa gravitasi merepresentasi kepatuhan atau kemusliman alam, dan massa inersia adalah aksi pengingkarannya.

Andai tidak sama, maka, untuk batu bergantung itu, massa inersianya tak-hingga. Memang, andai batu itu dapat didorong (percobaan), itu menunjukkan bahwa massa inersianya berhingga, bukan tak-hingga. Dan perbuatan mendorong itulah aksi pengingkarannya. Maksudnya, andai Newton memperoleh hukumnya dari apel yang jatuh, maka haruslah diperjelas: jatuh sendiri ataukah dijatuhkan (percobaan)?

Simetrisasi lainnya adalah memasukkan konsep limit (diferensial dan integral). Maksudnya, gerak menurut Newton adalah seperti cacing merayap. Sementara fisika kuantum telah membuktikan bahwa gerak yang sesungguhnya adalah ”melangkah”.

Pada bagian lain, Einstein mengusulkan teori relativitas dan memasukkan cahaya ke dalam setiap gerak benda. Sejak kuliah, saya selalu bertanya-tanya: mengapa harus cahaya? Adakah hubungan antara cahaya (relativitas) dan ”melangkah” (kuantum)? Saya berwashilah kepada Imam Musa al-Kazhim as (saat itu tepat hari kelahiran beliau as) dan, dalam sekejap mata (tharfah al-’ain) saya peroleh secercah jawaban: gerak ”melangkah” dengan kecepatan cahaya, dan cahaya tidak lain adalah juga tharfah al-’ain. Nah, tharfah al-’ain dari cahaya adalah laju c = 3 x 108 m/det.

Pertama, dengan demikian, perdebatan mengenai apakah ada laju melebihi cahaya tidak perlu lagi. Secara kasar, untuk singgasana Ratu Balqis yang digerakkan Asif dalam satu kedipan mata (qabla an yartadda ilaika tharfuk), laju tharfah al-’ainnya sedikit di bawah laju cahaya. Imam Ali as menjelaskan bahwa Asif menguasai satu Ism al-A’zham, sedangkan beliau as sendiri menguasai 70. Mi’raj Nabi saw dapat difahami hanya dengan tharfah al-’ain yang mendekati tak-hingga. Kedua, perbedaan waktu-relatif dan waktu-mutlak Einstein terdapat pada waktu tharfah al-’ain ini. Untuk memahaminya diperlukan pembedaan antara ruang-diam dimana waktu-mutlak dialami, dan jalan (ruang-gerak) yang membutuhkan waktu tharfah al-’ain. Artinya, cepat-lambatnya gerak atau perpindahan bergantung pada penguasaan jalan. Saya teringat kata-kata Imam Ali as, ”Aku lebih menguasai jalan-jalan di langit ketimbang jalan-jalan di bumi.” Teori ini memudahkan kita untuk memahami bagaimana al-Imam al-Karrar as dapat mengangkat gerbang Khaibar seperti perisai, serta dapat menebaskan Dzulfiqar sedemikian dahsyat. Sungguh saya ingin menyebutnya sebagai teori fisika wilayah Ahlul Bayt menuju General Symmetry menggantikan General Relativity Einstein.

Saya mengawali teori ini dari batu yang bergantung itu. Beberapa teman telah memberikan komentar mengenai foto di atas. Tidak jadi masalah. Seperti foto Rasulullah saw, tidak jadi masalah apakah asli atau palsu. Sebab, beliau saw tetaplah ada, asli, sedangkan perkara foto itu urusan lain. Demikian juga batu itu.

Batu itu bergantung diam, tidak bergerak turun. Maka massa inersia tak-hingga adalah konsekuensi logis-matematis. Konsekuensi lainnya adalah, bahwa sekiranya batu itu bergerak, maka dibutuhkan gaya yang sangat besar (karena menggerakkan seluruh alam semesta). Riwayat menyebutkan bahwa, ketika Imam Ali as syahid, batu itu bergeser dan ditemukan darah di bawahnya. (Syaikh Mufid, al-Ikhtishâsh, IV, h. 166.)

Adanya ruang-diam menunjukkan adanya diam-mutlak sekaligus adanya pusat alam semesta. Dan di Sorong lah saya membaca tulisan Zainal Abidin Bagir mengenai dugaan adanya pusat alam itu. Juga di sinilah untuk pertama kalinya kami merayakan hari kelahiran Yesus as pada tanggal 25 Dzulhijjah lalu. Malam itu disebut malam Dahwu al-Ardh, malam dimana “bumi dihamparkan di bawah Ka’bah”, sebuah ungkapan yang tiada lain kecuali bahwa Ka’bah adalah pusat dunia. Rasulullah saw menjelaskan kepada seorang pendeta Nashrani bahwa, memang, Ka’bah adalah pusat dunia.

Apakah fisika wilayah akan mengembalikan Ka’bah sebagai pusat dunia? Sayangnya, buku General Symmetry versus General Relativity belum selesai saya tulis. *

1 komentar:

Al Toro mengatakan...

You are Tony, khan ?...
Mathematika, ITB '85?
Ini Toro FI ITB '85.

Kalau ya, email aku.
t_kambali@yahoo.com.

Salam,
Toro
California